バンカ・ブリトゥン州のチュアル布(動画)Lomba Tenun Cual, Prov.Babel
インドネシアのテキスタイル文化は世界一と言って構わない。その種類の豊富さにおいて対抗できる国はない。西端のアチェから東端のパプアまで、全国各地に、独自の織物、染色文化が息づいている。その多様性は民族集団(Suku Bangsa)の数に合致する。バティック、イカット、ソンケット---は今や世界語になっている。
かつて錫で世界的に知られたバンカ・ブリトゥン(Bangka Belitung)州。しかし、この島に国内的に見ても、追随を許さないレベルの伝統布があることは余り知られていない。それが“チュアル(Cual)”布だ。錫は神のお土産、そしてチュアル布は先祖からの置き土産。
スマトラ島のパレンバン。ソンケット布でつとに知られている。しかし、その起源がバンカ島のムントゥック(Muntok)にあることは知られていない。ムントックは、先の大戦中、日本軍がスマトラ島攻略の橋頭堡に考慮した地点でもある。
錫はやがて無くなる。しかし、チュアル布は、それを守り続ける次世代がいる限り、生き続ける。そこで、インドネシア文化宮(GBI)は、2007年8月、同州政府と共催で、州都のパンカルピナン(Pangkalpinang)で、『チュアル布コンテスト』を実施した。誰がこの布を織れて、どこに住んでいるのか---などを知るための一歩として。コンテストを通過した優秀作は、2007年10~12月、東京のGBIで展示された。
ビデオは2007年8月23日、パンカルピナンで行われたコンテスト&文化イベントの模様を再現する。
知人でパンカルピナン在住のチュアルの織り手であるサンラさんが、以下のような「チュアル布の起源」を寄稿してくれた。
Asal Usul Tenun Cual
Sejarah asal usul tenun cual tidak lepas dari sejarah berdirinya Kota Muntok. Sebelum Muntok dibuka sebagai suatu kota, Bangka Belitung telah silih berganti dikuasai oleh beberapa kerajaan. Pada awalnya Bangka Belitung adalah wilayah yang dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya, akan tetapi seiring dengan keruntuhan dan jatuhnya kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, maka Bangka Belitung masuk dalam Kesultanan Palembang. Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo yang berkuasa sejak 1724 - 1756 Masehi, telah menikah dengan seorang Putri dari kerajaan Siantan (Kecamatan Natuna, Kepulauan Riau) bernama Zamnah (nama melayu) atau Banioh (nama Cina). Setelah menikah dengan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo lalu bergelar Mas Ayu Ratu.
Zamnah dan keluarganya kemudian dibawa dan dicarikan tempat tinggal oleh Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo. Terpilihlah sebuah Tanjung di dekat Gunung Manumbing yang kemudian tempat itu diberi nama Muntok, dan Tanjung di dekat Gunung manumbing tersebut beri nama Tanjung Kelian. Kata Muntok dan Tanjung Kelian awalnya adalah sebuah kalimat yang diucapkan oleh Wan Akup (Raja Siantan) kepada Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo, yaitu : “Tempat Ento’ sudah dapat, di dekat Tanjung yang Keliatan dari Sungsang” (dalam bahasa Siantan). Lalu Mahmud Badarudin I Jayo Wikramo menamai tempat tersebut Ento’ yang lama-kelamaan menjadi Muntok, dan “Tanjung yang keliatan” itu dinamai Tanjung Kelian. Kepindahan orang – orang Melayu keluarga Zamnah itu juga turut membawa keterampilan menenun. Sehingga komunitas orang – orang Siantan yang pindah ke Muntok dan menenun itu disebut Kampung Petenon, di Kecamatan Teluk Rubiah.
Keterampilan menenun merupakan aktivitas perempuan – perempuan keturunan Bangsawan Muntok pada abad ke-18. Kain tenunan Muntok itu dikenal dengan sebutan kain Cual. Cual sendiri bararti celupan benang pada proses awal. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Cual berarti mori atau gulungan benang yang akan diwarnai, dicelup ataupun diikat. Namun seiring perkembangan waktu, cual menjadi suatu istilah/ sebutan masyarakat Bangka Belitung terhadap kain tradisionalnya karena pada dasarnya kain cual masuk dalam kategori tenunan songket. Ini sama halnya dengan beberapa daerah, seperti di Batak, masyarakatnya menyebut songket tradisionalnya dengan sebutan Ulos, Padang, menyebut songket tradisionalnya dengan sebutan PandaiSingkek, Palembang terkenal dengan Songket Palembang, Lampung terkenal dengan tapis, Sulawesi Utara terkenal dengan Kain Tenun Bentenan, Sulawesi Tengah terkenal dengan Tenun Ikat Donggala dan lain – lain. Di luar Bangka Belitung, Cual dikenal dengan sebutan Limar Muntok. Tentu saja sebutan tersebut secara tidak langsung merupakan pengakuan masyarakat luar bahwasanya tenun Cual awalnya berasal dari Mentok-Bangka Belitung.
Semula tidak sembarang orang yang diizinkan menggunakan kain cual bahkan penenunnya pun merupakan putri – putri keturunan Bangsawan Muntok. Namun karena kehalusan kainnya, warna celupannya tidak berubah, dan jika dipandang dari kejauhan, seakan timbul beragam kembangnya menjadikan kain cual sangat terkenal hingga ke luar Bangka. Sehingga kain Cual juga diperdagangkan ke daerah lain, seperti Palembang, Belitung, Pontianak, Singapura dan Tanah Melayu lainnya. Ini menyebabkan pengguna kain cual tidak lagi hanya pada keturunan Bangsawan Mentok dan membuka kemungkinan beberapa motif cual dipelajari dan ditenun di daerah lain, seperti Palembang.
Bahan baku tenunan Muntok tersebut adalah sutra dari Cina dan benang emas dari India (terbuat dari benang katun yang dicelupkan ke dalam cairan emas 24 karat). Bahan pewarna pun sangat bergantung dengan alam. Awalnya, kain cual dicelup dengan warna - warna yang didapat dari alam, dan teknik ini diteruskan ke anak cucu secara turun temurun. Biasanya warna merah, didapat dari pengolahan kayu sepang dengan jalan mengambil inti kayunya dan direbus, dan mengkudu, yang didapat dari akarnya.Warna biru didapat dari indigo, warna kuning didapat dari dari kunyit Untuk mendapatkan warna sekunder seperti hijau, oranye dan ungu, dilakukan percampuran cat dari warna primer merah,biru dan kuning. Untuk mencegah agar warna tidak luntur atau pudar pada waktu pencelupan ditambahkan tawas.
Bahkan peralatan tenunan tersebut juga begitu sederhana, bernama gedokan yang terdiri dari balok-balok kayu, dan buluh. Gedokan, alat tenun tradisional Indonesia masuk dalam tipe alat tenun sudut (Lingkle Loom).
Namun, ketika terjadi perang besar di Eropa, tahun 1914 hingga 1918, menyebabkan benang sutra, benang mas, dan bahan baku lainnya bukan hanya harganya naik namun hampir tidak ada jualnya baik di Muntok maupun di Singapura. Ditambah lagi, daerah Mentok sebelah laut, bernama kampung Bujan pernah terjadi kebakaran besar. Diperkirakan sejak saat itulah orang – orang menjadi berhenti menenun.
Beberapa orang tertentu pemilik kain cual menyimpan kainnya di dalam peti berukir. Kain cual yang tersimpan di dalam peti berukir tersebut dinamakan “penunggu peti” Sementara itu, orang – orang Muntok keturunan bangsawan mulai membawa kain cual mereka menyebar ke daerah Tempilang dan daerah sekitar Bangka Barat. Sehingga kain cual juga mulai dikenal ke luar lingkungan Bangsawan Muntok. Bukti dari penyebaran kain cual zaman silam tersebut adalah dengan ditemukannya kembali kain cual antik sejak tahun 1990-an di beberapa daerah seperti Tempilang, Nangka, Air Gegas, Ranges, Riding Panjang, Jelutung juga ada pula yang didapat dari Belitung dan Palembang. Sebagian cual antik tersebut masih disimpan di dalam peti berukir sebagai “Pusake Lame” oleh ahli warisnya.
Tenun ikat cual Muntok adalah perpaduaan antara teknik sungkit dan tenun ikat, namun yang menjadi ciri khas dari Cual Muntok adalah dominasi susunan motif dengan teknik tenun ikatnya. Mengenai teknik sungkit merupakan warisan pengetahuan dari Cina yang menyebar ke beberapa negara. Diperkirakan bahwa teknik tersebut masuk ke Malaysia pada abad ke-15 dan menyebar ke daerah-daerah di Indonesia pada abad ke-18. Sedangkan keahlian teknik tenun ikat didapatkan dari marga Salvi sebuah suku di India melalui jalan sutra, terus menyelusuri Asia Tenggara, hingga Indonesia.
Robyn Maxwell, seorang Lektor Senior mengenai Sejarah dan Kesenian di Australian National University serta Kepala Sekolah Kemanusiaan di Fakultas Seni, berpendapat (1990) bahwa, “pengetahuan orang Melayu mengenai teknik sungkit mungkin diambil dari orang Cina yang memperkenalkan bahan logam tetapi kehadiran budaya dari Timur Tengah, Parsi, Turki dan Moghul (India) telah memperkukuhkan lagi penghasilannya”
Dapat ditarik kesimpulan bahwa kain tenunan di beberapa negara termasuk tenun ikat cual Muntok merupakan hasil dari perdagangan zaman silam melalui Jalan Sutra. Di zaman silam, kehalusan tenunan, tingkat kerumitan motif dan warna pada tenunan kain cual mengandung filosofi hidup sebagai hasil perjalanan religius penenunnya. Biasanya kain cual digunakan sebagai pakaian kebesaran lingkungan Bangsawan Muntok, pakaian pengantin dan pakaian pada hari-hari kebesaran Islam dan acara adat lainnya. Bahkan kain cual merupakan syarat utama sebagai hantaran pengantin ataupun mahar yang langsung menggambarkan status sosial (pangkat dan kedudukan) seseorang pada masa itu.
Motif – motif pada kain Cual terinspirasi dari tumbuh – tumbuhan, hewan, alam ataupun benda yang ada di daerah lokal, antara lain pucuk rebung, butiran beras, ombak, bebek, ayam, naga, burung, bunga, Gajah Mada dan lain – lain. Secara umum, motif pada tenun ikat Cual Muntok dibagi menjadi dua kategori, yaitu: motif susunan bercorak penuh, yang dalam bahasa Bangka disebut dengan Motif Penganten Bekecak, dan motif ruang kosong, yang dalam bahasa Bangka disebut dengan Motif Jande Bekecak
Filosofi dari beberapa motif kain Cual, antara lain motif bunga melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki dan segala kebaikan, pucuk rebung yang tumbuh menjadi batang bambu yang kuat dan lentur, tidak tumbang diterpa angin ini melambangkan harapan yang baik, motif bebek melambangkan persatuan dan kesatuan, motif naga melambangkan keperkasaan, motif burung, ayam, dan motif zoomorfis (menyerupai hewan) lainnya intinya melambangkan rejeki.
Pada motif Gajah Mada yang berbentuk ujung tombak, menurut cerita, Panglima Gajah Mada pernah datang ke Bangka dan disambut masyarakat Belinyu dengan mengibarkan bendera diujung tombak sebagai panji penghormatan. Karena ketersohorannya, kemudian para penenun memberi nama motif yang ditenunnya dengan sebutan motif Gajah Mada. Motif Gajah Mada sendiri ada beberapa macam yang inti motifnya berbentuk ujung tombak. Hal ini sama dengan kain serikit yang terinspirasi dari seorang Ratu dari Thailand bernama Ratu Serikit. Ketika ia datang ke Indonesia, karena begitu cantiknya membuat ia sangat terkenal. Karena faktor keterkenalan Ratu sarikit membuat orang-orang di Jawa menamai kain buatannya dengan nama Kain Serikit.
Filosofi dari warna pada kain cual antara lain, warna kuning hanya diperuntukan pada raja dan ratu, warna merah marun diperuntukan pada gadis remaja yang belum bersuami, warna merah terang yang melambangkan kebahagiaan diperuntukan bagi sepasang pengantin, warna ungu terung diperuntukan pada wanita yang sudah berkeluarga dan warna hitam untuk penutup jenazah keturunan raja.
Menilik semua hal yang berhubungan dengan menenun kain cual, mulai dari peralatan yang digunakan, bahan baku, bahan pewarnaan, teknik hingga ke ragam hias motif dan filosofi hidup yang terkandung, dapat disimpulkan bahwa kain cual dibuat dengan keterampilan, ketelatenan, kesabaran, dan daya kreasi yang tinggi yang memperlihatkan keindahan dan kesempurnaan hasil ciptaan zaman silam yang masih segar hingga ke hari ini.
Semula untuk keperluan busana, orang-orang menggunakan bahan dasar kulit kayu, kemudian rajutan daun-daun, dan yang terakhir orang-orang menanam kapas untuk membuat benang sebagai bahan dasar kain tenun. Dari ketiga busana diatas hanya kain tenunanlah yang hingga kini masih dipergunakan dan merupakan hasil budaya daerah yang harus dilestarikan.
Bagaimana pun juga tenaga manusia itu pastilah mengandung unsur seni yang unik, berbeda tiap-tiap individu dan mencerminkan kepribadiaan orang-orang yang menciptakannya yang hidup di zaman tertentu. Demikian pula dengan hasil tenunan dari seluruh nusantara. Sehingga kini seorang perajin tenunan di seluruh Indonesia dinyatakan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sebagai seniman dan seniwati, bukan sebagai seorang buruh.
Perbedaan Tenun Songket Palembang dan Tenun Cual Muntok yaitu:
Tenun Songket Palembang:
Lebih mendominasi teknik pencukitan sehingga motif yang dihasilkan lebih mendominasi balutan benang emas, pewarnaan benang pakan melalui pencelupan benang, susunan bunga penuh dan Susunan motif bunga tabur.
Tenun Cual Muntok :
Lebih mendominasi teknik tenun ikat sehingga untuk menciptakan suatu bentuk motif lebih mendominasi penyusunan benang pakan, pewarnaan benang pakan melalui teknik pencelupan, pengikatan dan pemoletan, susunan motif bercorak dan Susunan Motif Ruang Kosong.
CopyRigth : Penulis.
Thanks To : Pemangku Adat Prov. Babel.
Special Dedicated : masyarakat Babel.
Telah dipresentasikan sbg : materi dlm penilaian tahap III (akhir) Upakarti di Deprin.
Telah diterbitkan di : salah satu Harian Kota Pangkalpinang Edisi 2008.
【参考ブログ】
http://grahabudayaindonesia.at.webry.info/theme/ad869dac79.html
この記事へのコメント